Sunday, July 31, 2016

Evolusi Kota Gotham & Batman: Antara Peradaban & Penggerak Perekonomian

Sebagai seorang penggemar sinema layar lebar, ada sebuah detail yang mempesona saya. Jika kita memperhatikan perkembangan film-film yang mengangkat kisah tokoh manusia kelelawar rekaan DC Comics, yaitu Batman, rupanya tidak hanya sang tokoh utama yang mengalami perubahan, namun kota tempat sang ksatria kegelapan bernaung, yaitu kota Gotham, juga terus menerus berkembang. Beberapa sumber bahkan mengatakan bahwa jangan-jangan sebenarnya malah sang tokoh utama, yaitu Batman yang sebenarnya mengikuti perkembangan kota Gotham!
Kota Gotham versi layar lebar pertama diperkenalkan oleh Tim Burton pada tahun 1989. Pada era tersebut, Gotham digambarkan sebagai kota yang penuh dengan gedung pencakar langit bernuansa gothic. Pada  medio 1990 kita mengenal kota Gotham yang lebih komikal dan penuh lampu neon sebagaimana digambarkan dalam film Batman Forever (1995) dan Batman & Robin (1997). Sekitar satu dekade lalu, para pencinta film menyanjung versi kota Gotham yang lebih realistis ala Christoper Nolan dalam trilogi Dark Knight (2005-2012).
Evolusi kota Gotham selalu dibarengi dengan evolusi dari sang tokoh utama, yaitu sang ksatria kegelapan, Batman. Gotham yang bernuansa gothic dijaga oleh Batman yang menggunakan kostum sangat gelap & hampir tidak pernah tersenyum. Versi Gotham  yang lebih ringan dan komikal dipunggawai oleh Batman yang lebih kocak & humoris. Sedangkan kota Gotham yang realistis pada trilogy Dark Knight digawangi oleh Batman yang lebih membumi dan lebih dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.
Bagi saya, peran Batman dalam menjaga Kota Gotham sebagai perlambang pusat peradaban yang terus berkembang, tidak hanya dapat dipandang sebagai upaya untuk menjaga keamanan belaka. Lebih luas lagi, peran Batman juga dapat dipandang sebagai agen dalam mewujudkan situasi perekonomian yang inklusif. Sebuah kondisi dimana perekonomian dapat berjalan optimal, karena setiap warga kota Gotham memiliki kepastian untuk berusaha, berkreasi tanpa harus dihantui bayang-bayang bahwa segala jerih payah mereka dapat hilang dalam satu malam akibat brutalitas kriminal yang menghantui kota Gotham.
Perkembangan Kota & Sistem Pembayaran
Seperti halnya Kota Gotham, perkembangan kota sebagai pusat peradaban di dunia nyata juga rupanya tidak kalah unik & glamor. Dimulai dari peradaban Uruk di daerah Mesotopamia yang dianggap sebagai peradaban kota pertama di dunia, berdirinya kota Roma yang disebut-sebut sebagai kota metropolis pertama, dan kebangkitan konsep smart city yang muncul belakangan ini sebagai solusi akan kebutuhan masyarakat yang semakin mendambakan hunian aman, nyaman dan berdaya saing dalam hal perekonomian.
Untuk menjaga agar aktivitas perekonomian dalam kota dapat berjalan optimal, setiap kota membutuhkan “Batman”, agen yang berperan untuk untuk mewujudkan situasi keuangan yang inklusif. Agen yang mampu menjamin warganya mendapatkan imbal balik yang pasti atas kerja keras yang mereka lakukan (unit of count). Alat yang mampu memberikan ketentraman, kenyamanan dan kemudahan dalam melakukan aktivitas perekonomian (medium of exchange). Dalam dunia nyata, fungsi ini dilakukan oleh Sistem Pembayaran.
Seperti halnya kota, instrumen sistem pembayaran juga terus berkembang dari waktu ke waktu. Dari mulai penggunaan komoditas sebagai alat barter, munculnya koin di kota Lydia (kini Turki Barat) pada tahun 600 SM  sampai dengan inovasi bank notes (surat pengakuan utang bank) pada abad 7 M di China yang menginspirasi kebangkitan uang kartal di Eropa pada abad 13.
Seperti yang kita ketahui, penggunaan uang kartal sebagai instrumen pembayaran masih terus berlanjut saat ini, meskipun kebanyakan uang kartal di dunia diterbitkan oleh otoritas moneter masing-masing negara. Evolusi sistem pembayaran ini terjadi untuk menjawab kebutuhan dan tantangan dari aktivitas perekonomian yang terjadi pada masing-masing pusat peradaban.

Evolusi Berikutnya: Implementasi Teknologi Informasi Dalam Perkembangan Pusat Peradaban & Mata Uang
Perkembangan teknologi sistem informasi pada akhir abad 20 telah membuka banyak peluang dan kemudahan bagi masyarakat. Dan perkembangan kota pun tidak luput dari sentuhan teknologi tersebut.
Melalui implementasi teknologi informasi dalam manajemen kota, kita dapat mewujudkan kota mengetahui(sensing) keadaan di dalamnya, memahami (understanding) keadaan tersebut lebih jauh, dan melakukan aksi (acting) terhadap permasalahan tersebut. Konsep inilah yang baru-baru ini dipopulerkan dengan istilah Smart-City.
Manajemen data dan informasi menjadi semakin penting untuk mewujudkan aspek kunci dari smart city, yaitu: smart environment, smart governance, smart mobility, smart economy, smart living dan smart citizen. Dengan pengelolaan data dan informasi yang baik pemerintah dapat memformulasikan kebijakan terbaik sebagai solusi atas masalah riil yang dihadapi warganya dan mengajak masyarakat untuk berkolaborasi untuk memberikan solusi yang lebih mantap.
Namun demikian peningkatan kebutuhan akan data ini harus dibayar dengan harga mahal. Masyarakat urban yang hidup di smart city umumnya harus menyediakan informasi yang cukup bagi pemerintah agar sistem layanan publik dapat berjalan optimal.
Oleh karena itu seringkali masyarakat dijejali dengan berbagai macam kartu, mulai dari kartu kesehatan, asuransi, pendidikan, tempat tinggal, identitas sampai dengan kartu untuk pembayaran. Kartu-kartu ini sendiri berperan sebagai wadah atas berbagai informasi vital  untuk mengakses layanan publik atau bertransaksi dengan pemerintah atau perbankan.
Untuk mengatasi hal tersebut, kita membutuhkan sebuah instrumen baru yang selaras dengan perkembangan teknologi yang melandasi smart city, atau bisa diibaratkan Gotham baru yang kini lebih hi-tech dan futuristik, memerlukan Batman  baru yang efisien dan canggih untuk memastikan roda perekonomian kota terus berjalan.
Unifikasi kartu identitas, layanan publik dan e-payment menjadi salah satu solusi untuk tantangan tersebut. Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan inisiasi untuk menggabungkan sistem dan fungsi e-money, identifikasi penduduk dan akses layanan publik dalam sebuah kartu revolusioner multifungsi bernama kartu Jakarta One sebagai salah satu bagian penting dalam konsep Jakarta Smart City.
Sesuai kewenangannya, BI mendukung pengembangan smart city melalui elektronifikasi dalam sistem pembayaran baik di tingkat pemerintah maupun masyarakat. Bagi Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran, penggunaan kartu multifungsi tersebut membantu untuk memasyarakatkan penggunaan e-money sebagai bagian dari Gerakan Nasional Non Tunai dan elektronifikasi keuangan.
Melalui kartu ini, masyarakat dapat menggunakan kartu sebagai alat pembayaran Trans Jakarta, Vending Machine, Rusun bersubsidi, listrik, air & telepon, apotik dan masih banyak lagi.  Kedepan kartu ini juga direncakan untuk dapat menjadi alat pembayaran untuk Electronic Road Pricing (ERP) dan sarana transportasi MRT dan monorail. Nomor Induk Kependudukan dan Nomor Identitas Khusus juga turut tercantum dalam kartu ini, sehingga dalam mengakses aneka layanan publik, masyarakat tidak perlu lagi menyimpan aneka macam kartu untuk setiap jenis layanan.
Implementasi kartu Jakarta One tidak hanya meningkatkan efisiensi pengelolaan kartu oleh masyarakat, namun juga dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendapatkan informasi yang sangat besar mengenai efektivitas kebijakan, permasalahan di lapangan dan mencari solusi terbaik berdasarkan informasi yang dikumpulkan tersebut.
Melalui unifikasi kartu ini juga diharapkan data dan informasi menjadi semakin terbuka, transparan sehingga memungkinkan kolaborasi antara berbagai macam pihak untuk meningkatkan kualitas pelayanan dalam smart city tanpa mengabaikan aspek keamanan. Di masa mendatang bukan tidak mungkin masyarakat mengurus pembuatan KTP di Bank Umum, dikarenakan informasi sudah tersinergi antara pemerintah, perbankan dan masyarakat & batas antara kartu identifikasi dan kartu pembayaran elektronik menjadi semakin bias.
Kota sebagai pusat peradaban selalu berkembang. Dan dibalik setiap perkembangan peradaban selalu hadir agen perekonomian inklusif yang membantu menjaga agar roda perekonomian terus berjalan. Gotham memiliki Batman, sementara kota di dunia nyata, sistem pembayaran yang tangguh hadir untuk memastikan seluruh masyarakat dapat mengoptimalkan perannya dalam memajukan perekonomian.
Mengutip Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahya Purnama, smart city bukan hanya masalah teknologi, tapi kegunaan untuk masyarakat. Dengan implementasi smart payment, smart identification dan smart service yang terunifikasi dalam smart card, maka diharapkan kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik yang berimbas pada kualitas hidup masyarakat di perkotaan menjadi semakin meningkat yang pada akhirnya mendorong peran kota sebagai wadah menuju smart nation.



Kurangi Mubazir Dengan Teknologi Mutakhir

Pada abad ke-21 ini perkembangan populasi, khususnya pada daerah perkotaan, menjadi salah satu permasalahan utama di hampir seluruh kota di dunia. Manusia telah berevolusi dari spesies hunter-gatherer menjadi spesies urban. Hal ini dibuktikan dengan persentasi penghuni kota yang kian meningkat, dari angka 3% per jumlah penduduk dunia pada abad ke-18, hingga 30% per tahun 1950 yang lalu menjadi 50% per tahun 2008, dan diperkirakan untuk terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.
Semakin tingginya densitas penduduk kota dan terbatasnya sumber daya yang ada tentu saja menimbulkan problematika klasik dimana supply tidak dapat memenuhi demand. Salah satu pakar ICT dan Smart City developer, Larissa Suzuki, pada salah satu presentasi TEDx Talks mengemukakan bahwa untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kota dengan sistem pengelolaan sumber daya yang tersedia saat ini maka dalam 40 tahun kedepan kita akan memerlukan tiga buah planet bumi. Suzuki juga mengungkapkan bahwa diskonektivitas antara satu sektor ke sektor yang lain dalam sistem perkotaan adalah hal utama yang menyebabkan terjadinya waste, baik dalam bentuk sumber daya alam, energi, waktu dan polusi. Agar suatu kota dapat mempertahankan pembangunan yang berkelanjutan, maka kita harus memperkecil terjadinya waste dengan meningkatkan efisiensi. Dan dengan sokongan teknologi yang ada saat ini maka konektivitas, integrasi data dan knowledge-sharing antar sektor dapat diciptakan sehingga efisiensi dapat terwujud. Peningkatan efisiensi untuk mengeliminasi waste yang didukung dengan aplikasi teknologi inilah yang menjadi landasan dari lahirnya konsep Smart City.
Sebuah smart city didefinisikan memiliki beberapa aspek kunci, yaitu: smart environment, smart governance, smart mobility, smart economy, smart living dan smart citizen. Menarik bagi saya, sebagai seorang penduduk kota, bahwa perubahan suatu kota menjadi sebuah smart city tidak selalu bersifat top-down, dimulai dari pemerintah kota kepada penduduk. Perubahan tersebut  juga bersifat bottom-up, dimulai dari hal-hal kecil yang dapat dilakukan penduduknya dengan memanfaatkan tekonologi dan informasi yang ada. Smart citizen is indeed the making of smart cities. Dengan berbagai aplikasi teknologi yang tersedia masyarakat dapat mengidentifikasi dan mencari solusi dalam menghindari terjadinya waste dalam lingkungan dan kesehariannya dan menjadikan kehidupan dan tempat hidupnya menjadi lebih baik.
A Waste of Time and Money
Tidak dapat dipungkiri jika waste sering terjadi dalam keseharian kita, dan dua hal yang sering terjadi adalah adanya waste dalam perkara uang dan waktu.
Ketika kita bertransaksi dengan memakai uang tunai untuk membayar tagihan yang jumlahnya tidak bulat, kita lebih sering menggunakan pecahan yang lebih besar daripada uang pas. Terkadang kembalian yang kita dapatkan disimpan dengan sembarangan karena terburu-buru dan lalu terlupakan atau bahkan hilang. Ini merupakan waste yang sebenarnya sering terjadi dan sering kita abaikan. Tetapi apabila kita akumulasikan transaksi per transaksi setiap bulan dan setiap tahunnya, tentu jumlahnya akan menjadi signifikan.
Alternatif dari pembayaran tunai ini tentu saja telah ada sejak lama. Masyarakat, khususnya di kota-kota besar, pun sudah familier dalam menggunakan beragam layanan keuangan berbasis digital, khususnya Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) dan e-Money. Untuk pembayaran dengan nominal besar, masyarakat cenderung memilih untuk memakai kartu debit/kredit. Sedangkan untuk pembayaran mikro yaitu pembayaran dengan nominal kecil namun berfrekuensi tinggi solusinya adalah dengan menggunakan e-Money. Beberapa waktu yang lalu, PemProv DKI Jakarta dengan bekerjasama dengan Bank DKI dan Bank Indonesia juga telah resmi meluncurkan kartu Jakarta One. Peluncuran kartu ini adalah salah satu program dalam mendukung diwujudkannya Jakarta Smart City dan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan keterbukaan informasi. Kartu ini merupakan kartu multifungsi yang dapat untuk berbagai hal mulai dari pembayaran naik bus Transjakarta, RSUD, rusun, pajak, retribusi, parkir meter, MRT, asuransi BPJS hingga penyaluran kredit kepada pelaku usaha kecil menengah. Bayangkan betapa praktisnya jika alih-alih harus membawa uang tunai dan kartu-kartu yang membuat dompet kita menjadi berat, kita cukup hanya membawa satu kartu multifungsi saja.
Selain meminimalisasi kemungkinan terjadinya waste, penggunaan uang elekronik ini juga dapat menjadi salah satu sarana dalam mengontrol budget baik personal atau rumah tangga. Setap transaksi yang terjadi dengan menggunakan uang elektronik akan tercatat secara akurat pada sistem informasi bank yang bersangkutan. Data riwayat transaksi ini dapat diakses setiap saat oleh nasabah yang lalu dapat dipergunakan untuk membuat rencana keuangan yang lebih baik. Tentu saja hal ini harus didukung pula dengan terus mengedukasi masyarakat tentang penggunaan uang elektronik secara aman, bijak dan bertanggung jawab agar terbentuklah smart citizen yang mampu menggunakan uangnya dengan cerdas.
Aplikasi uang elektronik juga dapat berperan dalam mengurangi waste dalam hal waktu. Kemudahan transaksi yang dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja hanya dengan berbekal koneksi internet dan aplikasi m-banking yang ada didalam gadget kita tentu saja akan meminimasi waktu yang terbuang dibandingkan jika kita melakukan proses transaksi secara tunai. Kita tidak lagi harus bertansaksi secara face to face ketika hendak memesan makanan, mereservasi hotel, dan membeli tiket pesawat, tetapi cukup dengan memakai aplikasi seperti Gojek, dan membuka situs Agoda dan Traveloka. Dengan ini waktu tempuh yang dieliminasi untuk melakukan transaksi-transaksi tersebut secara langsung dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih berguna.

Smart Money, Smart Living, Smart City

Perubahan dimulai dari hal-hal kecil. Sebagai penduduk kota marilah kita manfaatkan teknologi yang ada untuk memudahkan dan menata kehidupan kita dengan lebih baik. Dari mulai membiasakan diri untuk melakukan pembayaran secara elektronik, kita sudah dapat mengurangi dua jenis waste dan menjalani keseharian dengan lebih baik, smart living. Dan apabila setiap oenduduk telah menjadi smart citizen yang menjalankan smart living, tentu saja bukanlah mimpi untuk mewujudkan smart cities di negara kita tercinta ini.